Makanan manis yang dikombinasikan dengan warna-warna menarik sungguh membuat anak kecil tertarik. Apalagi kalau makanan itu empuk sehingga mudah dikunyah. Belum lagi kalau dibentuk sebagai minuman dingin yang dibekukan, seperti es krim atau serbuk es yang dituangi sirup.
Meski banyak digemari anak-anak, makanan manis yang banyak dijual di pasaran ini perlu diwaspadai. Pasalnya, banyak produk makanan, terutama produk industri rumah tangga, yang menggunakan pemanis buatan sebagai pengganti gula.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI Dedi Fardiaz mengungkapkan, di Indonesia masih banyak permasalahan terkait dengan penggunaan pemanis buatan. Meski sudah ada ketentuan batas maksimum yang diizinkan, penggunaan pemanis buatan masih sering dilakukan semena-mena melebihi batas maksimum yang diperbolehkan.
Produk-produk yang melanggar ketentuan ini, menurut Dedi, umumnya dibuat oleh para perajin dan pedagang makanan jajanan serta industri rumah tangga yang belum mendapat pembinaan atau penyuluhan.
Pemakaian pemanis buatan banyak dipakai pedagang kecil dan industri rumahan karena dapat menghemat biaya produksi. Harga pemanis buatan jauh lebih murah dibandingkan dengan gula asli. Pemanis buatan hanya sedikit ditambahkan untuk memperoleh rasa manis yang kuat.
Hasil kajian terbatas yang dilakukan Badan POM di beberapa sekolah dasar (SD) di Malang, Jawa Timur, menemukan ada konsumsi pada level yang tidak aman pada penggunaan bahan pemanis buatan sakarin dan siklamat. Dari anak-anak SD yang diteliti, ada konsumsi siklamat mencapai 240 persen dari nilai ADI (acceptable daily intake).
Sedangkan konsumsi sakarin ditemukan sebesar 12,2 persen nilai ADI. ADI diartikan sebagai jumlah maksimum senyawa kimia yang bisa dikonsumsi setiap hari secara terus-menerus tanpa menimbulkan risiko pada kesehatan. Senyawa kimia yang dimaksud adalah bahan tambahan pangan dan pemanis buatan. Nilai ADI dinyatakan dalam miligram per kilogram berat badan.
Badan POM hanya melakukan kajian terhadap siklamat dan sakarin karena disinyalir pemanis buatan ini digunakan tanpa batas oleh pedagang jajanan anak sekolah. Sakarin dan siklamat harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pemanis lainnya, seperti aspartam, acesulfam, alitam, dan neotam.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengatakan, hasil temuan Badan POM itu belum memperhitungkan faktor toksisitas sinergis.
Menurut Marius, asupan terhadap pemanis buatan bukan hanya berasal dari makanan, tetapi dapat juga berasal dari rokok, kosmetik, food suplement, produk-produk farmasi, termasuk resep dokter yang diracik dengan tambahan pemanis buatan.
Karena tidak mempertimbangkan toksisitas sinergis, maka level yang aman untuk penggunaan pemanis buatan hanya 45 persen nilai ADI. Siklamat pada manusia mempunyai nilai ADI maksimun 11 mg/kg berat badan (BB). Jadi kalau pada anak ditemukan siklamat 240 persen ADI, berarti kandungan pemanis buatan itu sudah mencapai 240 persen/0,45 = 533,3 persen. Jika dikonversikan, berarti kandungan siklamat sebesar 5,333 x 11 mg/kg = 58,63 mg/kg BB.
Dosen Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Institut Pertanian Bogor, Eddy Setyo Mudjajanto, yang mendalami soal pemanis buatan mengatakan, di Amerika dan Jepang penggunaan siklamat sudah dilarang. Demikian juga dengan sebagian besar negara-negara di Eropa.
Sedangkan untuk sakarin, meski tidak dilarang di Amerika dan Jepang, tetapi penggunaannya mulai banyak berkurang karena keamanannya dianggap meragukan. Pada hewan percobaan, sakarin dianggap bisa menimbulkan kanker kandung kemih.
Sementara menurut Marius, penggunaan siklamat juga sudah dilarang di ASEAN, kecuali Indonesia yang masih membolehkan siklamat. Jumlah jenis pemanis buatan yang digunakan di masing-masing negara ASEAN berkisar dua-lima jenis. Sedangkan di Indonesia ada 13 jenis pemanis buatan yang diizinkan penggunaannya dalam produk-produk pangan.
Ketigabelas jenis pemanis buatan itu adalah aspartam, acesulfam-K, alitam, neotam, siklamat, sakarin, sukralosa, dan isomalt serta lima lagi yang termasuk ke dalam kelompok poliol, yaitu xilitol, maltitol, manitol, sorbitol, dan laktitol.
Penggunaan pemanis buatan memang tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurut Eddy, pemanis buatan sebetulnya hanya boleh dikonsumsi oleh orang yang sedang diet gula (penderita diabetes melitus).
?Makanan tradisional buatan home industry yang menggunakan pemanis buatan jelas melanggar aturan. Pasalnya, pemanis buatan bukan untuk konsumsi orang sehat,? tutur Eddy.
Eddy menyarankan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih makanan, terutama makanan yang mempunyai rasa manis, agar terhindar dari pemanis buatan. Ada beberapa ciri dari produk yang menggunakan pemanis buatan, yaitu :
*
Makanan/minuman yang diberi pemanis buatan mempunyai rasa pahit ikutan (after taste), terutama sakarin.
*
Minuman yang diberi pemanis buatan lebih encer dibandingkan dengan minuman yang menggunakan gula.
beda siklamat dan sakarin...
Siklamat adalah pemanis buatan yang masih populer di Indonesia. Pemanis buatan ini merupakan garam natrium dari asam siklamat.
Bedanya dengan sakarin, siklamat menimbulkan rasa manis tanpa rasa ikutan (tidak ada after taste-nya). Sifat siklamat sangat mudah larut dalam air dan mempunyai tingkat kemanisan 30 kali gula. Dalam perdagangan dikenal sebagai Assugrin, Sucaryl, dan Sucrosa.
Sedangkan sakarin merupakan garam natrium dari asam sakarin. Pemanis buatan ini mempunyai tingkat kemanisan 200-700 kali gula. Dalam perdagangan dikenal dengan nama Gucide, Glucid, Garantose, Saccharimol, Saccharol, dan Sykosa. Harga sakarin paling murah dibanding dengan pemanis buatan lainnya. Karena itu, sakarin banyak digunakan pedagang kecil.
Pemanis buatan banyak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Siklamat dan sakarin dapat menyebabkan kanker kandung kemih dan migrain. Siklamat memunculkan banyak gangguan bagi kesehatan, di antaranya tremor, migrain dan sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, diare, sakit perut, alergi, impotensi dan gangguan seksual, kebotakan, dan kanker otak.
http://www.depkes.go.id/index.php?op...d=222&Itemid=3
Rabu, Oktober 7
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar